Mengapa pertemuan selalu menjanjikan perpisahan padahal perpisahan
tak pernah berjanji akan sebuah pertemuan. Malam ini masih sama seperti malam
kemarin yang senantiasa merindukan mentari. Dingin, semua terasa kaku dan
membeku rindu itu seperti salju yang mengurung kehangatan. Membekukan
kesunyian, menusuk sudut-sudut ruang hati. Aku tak dapat lagi menghitung ribuan
mil laut yang aku arungi yang aku tau ketika aku terbangun kamu hanyalah sebuah
cahaya mentari pagi yang menyambut tanpa wujud dan suara. Aku tak membenci
keadaan yang membingkai kita dalam segi yang berbeda. Aku tak pernah mengutuk
takdir yang menempatkan kita pada sisi dunia yang berbeda. Dan tak pernah
berharap waktu berhenti dengan sebuah titik perpisahan. Aku hanya mengutuk
setiap rindu yang menjumpaiku disepanjang malam seperti angin yang memelukku
erat sebab ia tak pernah menerbangkanku untukmu. ialah yang memporakporandakan
lorong hati yang kosong. Ia yang membuka kembali buku cerita tentang kita tak
pernah ingin aku baca. Ialah rindu, sang musuh terbesarku. Sang badai
terhebatku yang menghancurkanku dengan lembut dan menenggelamkanku dengan indah.
Hanya angan yang bisa membuat ia pergi. Angan akan sebuah pertemuan
dipenghujung penantian. Entah apakah angan itu akan terdengar oleh langit atau
menggumpal dibarisan awan atau bahkan terjatuh didasar laut. Aku tak pernah
berharap engkau berada dalam genggamanku aku hanya ingin engkau ada disampingku
seperti kemarin tanpa sebuah ikatan bagiku itu lebih dari cukup. Kau adalah
sumber energi pagiku, pelangi siangku dan kehangatan malamku. Mungkin setelah
ini tak akan ada lagi pertemuan karena waktu telah berputar jauh dan jarak
telah hidup abadi. Iya atau tidak aku tidak pernah tau sebab perpisahan hanya
memberi jarak dan waktu tanpa berjanji akan membawa pertemuan kembali.
Lagi-lagi aku benci mencintaimu. Aku mencintaimu namun benci dengan rasa ini,
rasa yang menumbuhkan duri-duri menyakitkan semakin aku menggenggamnya semakin
aku terluka. Ingin aku melepasnya namun tanganku sudah terlanjur tertusuk diakar
duri itu sebab sudah lama aku bersandar pada duri-duri yang awalnya aku fikir
akan ada bunga indah yang tumbuh disetiap ujungnya. Namun duri-duri bukanlah
mawar yang indah mereka hanya sekumpulan rasa yang tertanam digenggamku rasa
yang tak bisa dirasakan oleh kamu.
Kamu hanya sebuah coretan kecil, sebuah cerita tanpa akhir. Peran
utama tanpa sebuah peranan. Hanya sebuah alur tanpa latar. dan sebuah kumpulan
kata tanpa judul. Dan sebuah cerita nyata tanpa kenyataan. Sebuah tulisan yang
tak akan kamu baca namun aku tetapi menulis tetang kamu karena kamu adalah
alasan mengapa aku bercerita tanpa suara.
***
Andai jarak bisa menepi sejenak memberi aku ruang untuk melihat
wujud nyata dari bayangmu. Andai waktu bisa mengalah memberi aku puluhan detik
untuk menatap ruang hatimu. Aku ingin lihat gadis beruntung mana yang kini
menjadi nyonya di hatimu. Aku ingin lihat seberapa indah dekorasi hatimu yang
sepertinya selalu tergambar bahagia. Tidak seperti hatiku yang hingga kini
masih menjadikan dirimu raja dengan tahta yang tak tersentuh olehmu. Dan hati
ini masih tetap sama seperti saat kita berpisah. Tidak ada yang berubah hanya
saja tiap kali hujanan rindu itu datang memporakporandakan hatiku, aku selalu
berusaha membersihkannya kembali. Menutup kembali tentang dirimu dalam relung
yang sunyi.
Mungkin hari ini aku sudah bersahabat dengan keadaan. Namun keadaan
adalah pengkhianat terbaik, sebab ketika rindu itu datang menghampiriku ia tak
pernah membelaku. Justru ia menyerangku dengan jelas ia selalu berpihak pada
rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar