Senin, 05 September 2016

Aku Rindu

Mengapa pertemuan selalu menjanjikan perpisahan padahal perpisahan tak pernah berjanji akan sebuah pertemuan. Malam ini masih sama seperti malam kemarin yang senantiasa merindukan mentari. Dingin, semua terasa kaku dan membeku rindu itu seperti salju yang mengurung kehangatan. Membekukan kesunyian, menusuk sudut-sudut ruang hati. Aku tak dapat lagi menghitung ribuan mil laut yang aku arungi yang aku tau ketika aku terbangun kamu hanyalah sebuah cahaya mentari pagi yang menyambut tanpa wujud dan suara. Aku tak membenci keadaan yang membingkai kita dalam segi yang berbeda. Aku tak pernah mengutuk takdir yang menempatkan kita pada sisi dunia yang berbeda. Dan tak pernah berharap waktu berhenti dengan sebuah titik perpisahan. Aku hanya mengutuk setiap rindu yang menjumpaiku disepanjang malam seperti angin yang memelukku erat sebab ia tak pernah menerbangkanku untukmu. ialah yang memporakporandakan lorong hati yang kosong. Ia yang membuka kembali buku cerita tentang kita tak pernah ingin aku baca. Ialah rindu,  sang musuh terbesarku. Sang badai terhebatku yang menghancurkanku dengan lembut dan menenggelamkanku dengan indah. Hanya angan yang bisa membuat ia pergi. Angan akan sebuah pertemuan dipenghujung penantian. Entah apakah angan itu akan terdengar oleh langit atau menggumpal dibarisan awan atau bahkan terjatuh didasar laut. Aku tak pernah berharap engkau berada dalam genggamanku aku hanya ingin engkau ada disampingku seperti kemarin tanpa sebuah ikatan bagiku itu lebih dari cukup. Kau adalah sumber energi pagiku, pelangi siangku dan kehangatan malamku. Mungkin setelah ini tak akan ada lagi pertemuan karena waktu telah berputar jauh dan jarak telah hidup abadi. Iya atau tidak aku tidak pernah tau sebab perpisahan hanya memberi jarak dan waktu tanpa berjanji akan membawa pertemuan kembali. Lagi-lagi aku benci mencintaimu. Aku mencintaimu namun benci dengan rasa ini, rasa yang menumbuhkan duri-duri menyakitkan semakin aku menggenggamnya semakin aku terluka. Ingin aku melepasnya namun tanganku sudah terlanjur tertusuk diakar duri itu sebab sudah lama aku bersandar pada duri-duri yang awalnya aku fikir akan ada bunga indah yang tumbuh disetiap ujungnya. Namun duri-duri bukanlah mawar yang indah mereka hanya sekumpulan rasa yang tertanam digenggamku rasa yang tak bisa dirasakan oleh kamu.
Kamu hanya sebuah coretan kecil, sebuah cerita tanpa akhir. Peran utama tanpa sebuah peranan. Hanya sebuah alur tanpa latar. dan sebuah kumpulan kata tanpa judul. Dan sebuah cerita nyata tanpa kenyataan. Sebuah tulisan yang tak akan kamu baca namun aku tetapi menulis tetang kamu karena kamu adalah alasan mengapa aku bercerita tanpa suara.
***
Andai jarak bisa menepi sejenak memberi aku ruang untuk melihat wujud nyata dari bayangmu. Andai waktu bisa mengalah memberi aku puluhan detik untuk menatap ruang hatimu. Aku ingin lihat gadis beruntung mana yang kini menjadi nyonya di hatimu. Aku ingin lihat seberapa indah dekorasi hatimu yang sepertinya selalu tergambar bahagia. Tidak seperti hatiku yang hingga kini masih menjadikan dirimu raja dengan tahta yang tak tersentuh olehmu. Dan hati ini masih tetap sama seperti saat kita berpisah. Tidak ada yang berubah hanya saja tiap kali hujanan rindu itu datang memporakporandakan hatiku, aku selalu berusaha membersihkannya kembali. Menutup kembali tentang dirimu dalam relung yang sunyi.

Mungkin hari ini aku sudah bersahabat dengan keadaan. Namun keadaan adalah pengkhianat terbaik, sebab ketika rindu itu datang menghampiriku ia tak pernah membelaku. Justru ia menyerangku dengan jelas ia selalu berpihak pada rindu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar